Selasa, 12 April 2011

KUDA LUMPING KESENIAN YANG LEKAT DENGAN NUASA MAGIS








Ada satu permainan…
Permainan, unik sekali…
Orang naik kuda, tapi kuda bohong….
Namanya kuda lumping.....
Itu kuda lumping, kuda lumping, kuda lumping lompat-lompatan....
Sebait potongan lagu dangdut milik Rhoma Irama di atas terinspirasi dari permainan kesenian rakyat, tari kuda lumping, yang hingga kini masih tumbuh berkembang di banyak kelompok masyarakat di nusantara. Tarian tradisional yang dimainkan secara ”tidak berpola” oleh rakyat kebanyakan tersebut telah lahir dan digemari masyarakat, khususnya di Jawa, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuno tempo doeloe. Awalnya, menurut sejarah, seni kuda lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Di samping, juga sebagai media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak.
Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu budaya tradisional mereka. Termasuk, disinyalir beberapa waktu lalu, diakui juga oleh pihak masyarakat Johor di Malaysia sebagai miliknya di samping Reog Ponorogo. Fenomena mewabahnya seni kuda lumping di berbagai tempat, dengan berbagai ragam dan coraknya, dapat menjadi indikator bahwa seni budaya yang terkesan penuh magis ini kembali ”naik daun” sebagai sebuah seni budaya yang patut diperhatikan sebagai kesenian asli Indonesia.
Dipecut, Makan Beling dan Semburan Api
Entah hal apa yang bisa membuat para pemainnya ini seperti orang kesurupan. Dilihat dari cara permainannya, para penari kuda lumping seperti mempunyai kekuatan maha besar, bahkan terkesan memiliki kekuatan supranatural. Kesenian tari yang menggunakan kuda bohong-bohongan terbuat dari anyaman bambu serta diiringi oleh musik gamelan seperti; gong, kenong, kendang dan slompret ini, ternyata mampu membuat para penonton terkesima oleh setiap atraksi-atraksi penunggan (penari) kuda lumping. Hebatnya, penari kuda lumping tradisional yang asli umumnya diperankan oleh anak putri yang berpakaian lelaki bak prajurit kerajaan. Saat ini, pemain kuda lumping lebih banyak dilakoni oleh anak lelaki.
Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si-pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggan kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya. Beling (kaca) yang dimakan adalah bohlam lampu yang biasa sebagai penerang rumah kita. Lahapnya ia memakan beling seperti layaknya orang kelaparan, tidak meringis kesakitan dan tidak ada darah pada saat ia menyantap beling-beling tersebut.
Jika dilihat dari keseluruhan permainan kuda lumping, bunyi pecutan yang tiada henti mendominasi rangkaian atraksi yang ditampilkan. Agaknya, setiap pecutan yang dilakukan oleh sipenunggang terhadap dirinya sendiri, yang mengenai kaki atau bagian tubuhnya yang lain, akan memberikan efek magis. Artinya, ketika lecutan anyaman rotan panjang diayunkan dan mengenai kaki dan tubuhnya, si penari kuda lumping akan merasa semakin kuat, semakin perkasa, semakin digdaya. Umumnya, dalam kondisi itu, ia kan semakin liar dan kuasa melakukan hal-hal muskil dan tidak masuk diakal sehat manusia normal.
Semarak dan kemeriahan permainan kuda lumping menjadi lebih lengkap dengan ditampilkannya atraksi semburan api. Semburan api yang keluar dari mulut para pemain lainnya, diawali dengan menampung bensin di dalam mulut mereka lalu disemburkan pada sebuah api yang menyala pada setangkai besi kecil yang ujungnya dibuat sedemikian rupa agar api tidak mati sebelum dan sesudah bensin itu disemburkan dari mulutnya. Pada permainan kuda lumping, makna lain yang terkandung adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini yaitu; merah, putih dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada didalam hati juga pikiran yang dapat mereflesikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam.
Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian kuda lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu ghaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung-jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain kuda lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, kuda lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pimpinannya.
Perlu Terus Dipelihara dan Dikembangkan
Secara garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke generasi saat ini. Sekarang, kita sebagai penerus bangsa merupakan pewaris dari seni budaya tradisional yang sudah semestinya menjaga dan memeliharanya dengan baik. Tugas kita adalah mempertahankan dan mengembangkannya, agar dari hari ke hari tidak pupus dan hilang dari khasanah berkesenian masyarakat kita.
Satu hal yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa bangkitlah bersama untuk mengembalikan kembali kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Untuk itu, kepada Pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelurusi kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia

SEJARAH JARANAN

SEJARAH JARANAN
Menurut sejarah, asal muasal seni jaranan atau jaran kepang diangkat dari dongeng rakyat tradisional Kediri tepatnya pada Pemerintahan Prabu Amiseno yaitu Kerajaan Ngurawan, salah satu kerajaan yang terletak di Kediri sebelah timur Sungai Brantas. Konon sang Prabu berputera seorang putrid yang sangat cantik nan rupawan tiada banding yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata yang diberi nama Dyah Ayu Songgolangit. Tidak mengherankan kalau kecantikan Songgolangit tersohor di seantero jagad sehingga banyak raja dari luar daerah Kediri yang ingin mempersuntingnya.
Sonngolangit mempunyai adik laki-laki yang berparas tampan, terampil dan trengginas dalam olah keprajuritasn, bernama Raden Tubagus Putut. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan Raden Tubagus Putut mohon pamit pada ayahandanya untuk berkelana dan menyamar sebagai masyarakat biasa. Sementara itu di Kerajaan Bantar Angin yang dipimpin oelh Prabu Kelono Sewandono, Raden Tubagus Putut berminat mengabdi/Suwito. Berkat kemampuannya dalam olah keprajuritan ia diangkat menjadi patih kerajaan dan diberi gelar Patih Pujonggo Anom. Prabu Kelono Sewandono mendengar kecantikan Dyah Ayu Songgo Langit dan ingin meminangnya, maka diutuslah Patih Pujonggo Anom untuk melamar ke Kediri. Sebelum berangkat ke Kediri Pujonggo Anom memohon petunjuk kepada Sang Dewata agar dirinya tidak diketahui oleh ayahandanya maupun kakaknya.
Di kerajaan Ngurawan banyak berdatangan para pelamar diantaranya Prabu Singo Barong dari Lodoyo yang didampingi patihnya Prabu Singokumbang. Kedatangan Pujonggo Anom untuk melamar membuat terkejut Songgolangit, karena meskipun Pujonggoanom memakai topeng, ia mengetahui bahwa itu adiknya sendiri. Songgolangit menghadap ayahandanya menyampaikan bahwa Pujonggo Anom itu putranya sendiri. Mendengar penuturan itu maka murkalah sang ayah. Kemudian sang Prabu mengutuk Pujonggo Anom bahwa topeng yang dikenakan pada wajahnya tidak bisa dilepas dari wajahnya. Pujonggo Anom mengatakan pada Songgolangit bahwa lamarannya itu sebetulnya untuk rajanya yaitu Prabu Kelono Sewandono. Akhirnya Songgolangit mengeluarkan suatu Patembaya (sayembara) yang isinya: Dia menginginkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah; Barang siapa dapat membuat tontonan yang belum ada di jagad ini, dan bilamana digelar dapat meramaikan jagad; serta Pengarak manten menuju ke Kediri harus nglandak sahandape bantala (lewat bawah tanah) dengan diiringi tetabuhan. Barang siapa yang bisa memenuhi permintaan tersebut maka si pencipta berhak mempersunting Dewi Songgolangit sebagai permaisuri.
Pujonggo Anom melaporkan permintaan Songgolangit kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena merasa cukup sulit, akhirnya keduanya bersemedi memohon petunjuk Sang Dewata Agung. Dewata memberikan bahan berupa bantang bamboo, lempengan besi serta sebuah cambuk yang disebut Pecut Samandiman. Adapun batang bamboo digunakan untuk membuat kuda kepang yang melambangkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah, lempengan besi dijadikan bahan tetabuhan yang enak didengar. Dalam waktu singkat Kelono Sewandono beserta Pujonggo Anom sudah bisa memenuhi patembaya Dewi Songgolangit.
Akhirnya pasukan prajurit penunggang kuda dari Bantar Angin menuju Kerajaan Kediri dengan diiringi tetabuhan bisa menjadi tontonan yang belum pernah dilihat oelh masyarakat Kediri. Maka mulailah kesenian itu diberi nama Tari Jaran Kepang yang terdiri dari empat orang sebagai penari yang menggambarkan punggawa kerajaan ang sedang menunggang kuda dalam tugas mengawal raja. Tarian tersebut diiringi oleh satu unit musik gamelan jawa berupa ketuk, kenong, kempol, gong suwukan, terompet, kendang dan angklung. Di lain pihak Prabu Singo Barong merasa kedahuluan oleh Prabu Kelono Sewandono, maka marahlah Singo Barong dan terjadilah perang. Kelono Sewandono unggul dalam peperangan berkat pecut Samandiman. Singo Barong pasrah kepada Kelono Sewandono dan sanggup menjadi pelengkap dalam pertunjukkan jaranan yang digelar di Kerajaan Kediri, karena pada dasarnya mereka sangat menyukai musik gamelan. Dengan bergabungnya Singo Barong dan patihnya Singo Kumbang (celeng) maka genaplah penari jaranan berjumlah enam orang hingga sekarang ini.
Selain seperangkat gamelan, pagelaran jaranan juga membutuhkan sesaji yang harus disediakan dari sang dalang jaranan yang lazim disebut "Gambuh"
antara lain: Dupa (kemenyan yang dicampur dengan minyak wangi tertentu kemudian dibakar), Buceng (berisi ayam panggang jantan dan beberapa jajan pasar, satu buah kelapa dan satu sisir pisang raja), Kembang Boreh (berisi kembang kanthil dan kembang kenongo), Ulung-ulung (berupa seekor ayam jantan yang sehat), Kinangan (berupa satu unit gambir, suruh, tembakau dan kapur yang dilumatkan menjadi satu lalu diadu dengan tembakau). Selanjutnya sang gambuh dengan mulut komat-kamit membaca mantera sambil duduk bersila di depan sesaji mencoba untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dan meminta agar menyusup ke raga salah satu penari jaranan. Setelah roh yang dikehendaki oleh Sang gambuh itu hadir dan menyusup ke raga salah satu penari maka penari yang telah disusupi raganya oleh roh tersebut bisa menari dibawah sadar hingga berjam-jam lamanya karena mengikuti kehendak roh yang menyusup di dalam raganya. Sambil menari, jaranan diberi makan kembang dan minum air dicampur dengan bekatul bahkan ada yang lazim makan pecahan kaca semprong.
Di Kediri kesenian Jaranan sering ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu penting, acara peresmian maupun pesta-pesta keluarga, terlebih untuk acara yang berlangsung pada bulan Suro

SEJARAH PRABU SINGO BARONG

Di dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa sang Prabu berputera seorang putri yang sangat cantik. Putri tersebut bernama Dyah Ayu Songgolangit. Kecantikan Putri Songgolangit tersohor di seantero jagad sehingga banyak raja dari luar daerah Kediri yang ingin mempersuntingnya. Putri Songgolangit mempunyai adik laki-laki yang berparas tampan dan terampil bernama Raden Tubagus Putut.Untuk menambah wawasannya Raden Tubagus Putut pamit pada ayahandanya (Prabu Amiseno ) untuk berkelana dan menyamar sebagai masyarakat biasa. Sang Raden pun kemudian mengabdi pada kerajaan Bantar Angin yang dipimpin oleh Prabu Kelono Sewandono dan diberi gelar nama Patih Pujonggo Anom.  Mendengar kecantikan Dyah Ayu SonggoLangit, Prabu Kelono Sewandono ingin meminangnya, maka diutuslah Patih Pujonggo Anom.Sebelum berangkat ke Kediri Pujonggo Anom memohon petunjuk kepada Sang Dewata agar dirinya tidak diketahui oleh ayahnya maupun kakaknya. Dan akhirnya diapun berangkat menuju Kerajaan Ngurawan dengan menyamar memakai topeng dengan harapan tidak diketahui oleh ayah dan kakaknya disana. Kedatangan Pujonggo Anom untuk melamar membuat terkejut Songgolangit, karena meskipun Pujonggoanom memakai topeng, ia mengetahui bahwa itu adiknya sendiri.

Songgolangit menghadap ayahnya menyampaikan bahwa Pujonggo Anom itu adalah Raden Tubagus Putut adiknya sendiri. Mendengar penuturan itu maka murkalah sang ayah. Kemudian Prabu  Amiseno  mengutuk Pujonggo Anom bahwa topeng yang dikenakan pada wajahnya tidak bisa dilepas dari wajahnya. Pujonggo Anom pun mengatakan pada Songgolangit bahwa lamarannya itu sebetulnya untuk rajanya yaitu Prabu Kelono Sewandono. Akhirnya Songgolangit mengeluarkan suatu sayembara yang isinya: Dia menginginkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah; Barang siapa dapat membuat tontonan yang belum ada di jagad ini, dan bilamana tontonan ini digelar dapat meramaikan jagad dengan iringan tetabuhan maka si pencipta tontonan berhak memperistri dirinya.

Pujonggo Anom melaporkan permintaan Songgolangit kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena merasa cukup sulit, akhirnya keduanya bersemedi memohon petunjuk Sang Dewata Agung. Dewata memberikan bahan berupa batang bambu, lempengan besi serta sebuah cambuk. Batang bambu digunakan untuk membuat kuda kepang yang melambangkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah, lempengan besi dijadikan bahan tetabuhan.Akhirnya pasukan prajurit penunggang kuda dari Bantar Angin menuju Kerajaan Kediri dengan diiringi tetabuhan bisa menjadi tontonan yang belum pernah dilihat oleh masyarakat Kediri. Maka mulailah kesenian itu diberi nama Tari Jaran Kepang yang terdiri dari empat orang sebagai penari yang menggambarkan punggawa kerajaan yang sedang menunggang kuda dalam tugas mengawal raja.
Tarian tersebut diiringi oleh satu unit musik gamelan Jawa. Di lain pihak Prabu Singo Barong merasa terdahului oleh Prabu Kelono Sewandono, maka murkalah Singo Barong dan terjadilah perang. Prabu Kelono Sewandono dapat mengalahkan Singo Barong berkat pecutnya. Singo Barong pasrah kepada Kelono Sewandono dan menyanggupi syarat menjadi pelengkap dalam pertunjukkan jaranan yang digelar di Kerajaan Kediri. Dengan bergabungnya Singo Barong dan patihnya Singo Kumbang maka genaplah penari jaranan berjumlah enam orang hingga sekarang ini.

Minggu, 10 April 2011

jaranan kota kediri

jaranan adalah suatu kesenian asli di kediri.Sebenarnya Jaranan itu muncul sejak kapan sih? Seni jaranan itu mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041. atau bersamaan dengan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura.
Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri yang sangat cantik. Pada waktu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama memiliki kekuatan yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.
Ada beberapa orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit. Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi Songgo Langit.
Dari beberapa pelamar itu mereka bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada jaman sekarang besi ini menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto. Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
Karena Dewi Sonmggo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Puijangganom dan tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit merubah nama tempat itu menjadi Ponorogo
Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk menggambarkan boyongnya dewi Songgo langit dari kediri menuju Wengker Bantar Angin. Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana dikarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan besi. Pada jaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri membuat kesenian jaranan. Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini.